Blog Ini Memberikan Infomasi Pariwisata Kabupaten Siak dan Memberikan Info-Info Yang Menarik Untuk Di Baca.

[Cerita Rakyat Melayu] SI JANGOI

Tak terasa sudah dibulan Maret tahun 2018 saja....
Sudah lama vakum dari dunia blog...
Maklum penulis masih disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus, jadi hampir meluakan nasib blog ini... hehehe 

Its OKAY... 
Spesial untuk postingan hari ini saya akan kembali melakukan sharing cerita raykat melayu atau bisa dibilang legenda,,,
Cerita Rakyat melayu kali ini adalah "SI JANGOI"


------Berikut Ceritanya------


Pulau Penyengat, Pulau Los dan Pulau Paku, tiga tempat yang sangat berkaitan. Di antara ketiga pulau tersebut, Pulau Penyengat lebih besar dan berpenduduk ramai. Di dalam Sejarah Kerajaan Riau-Lingga, kedudukan Pulau Penyengat sangat penting sekali. Bukan saja sebagai hadiah Mas Kawin dan Sultan Mahmud kepada Engku Putri atau Raja Hamidah. Tetapi juga pada tahun 1808 M menjadi pusat pemerintah Kerajaan. Yaitu ketika Raja Ja’far yang diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda VI menggantikan Raja Ali, menjadikan Pulau Penyengat sebagai pusat kediaman dan pemerintahannya.

Selain itu, Pulau Penyengat sudah dikenal, jauh sebelum Kerajaan Riau di pindahkan dari johor ke Hulu Riau. Yakni sebagai pulau yang disinggah oleh para pelaut untuk mengambil air bersih. Dan kononnya di pulau itu banyak sejenis binatang penyengat seperti lebah. Hingga kemudiannya pulau itu bernama Penyengat.



Sedangkan Pulau Los Keadaannya jauh lebih kecil serta tidak berpenghuni. Posisinya berada tak jauh dari Pulau Penyengat. Kalau kita melihat dari Pelabuhan Laut Tanjungpinang, posisi Pulau Los di sebelah kanan Pulau Penyengat. Dari ujung Senggarang, Pulau Los sangat dekat.


Tidak begitu jelas kenapa Pulau Los tidak berpenghuni, tetapi menurut cerita orang-orang tua, dahulunya Pulau Los menjadi sarang Bajak Laut ketika berakhirnya pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga. Konon, menurut ceritanya Pulau Los juga dijadikan tempat pembuangan orang-orang jahat.

Bagi para nelayan dahulu, di daerah sekitar Pulau Los ada suatu tempat yang ditakuti, karena kononnya di situ terdapat semacam gelombang pasang yang sering datang tiba-tiba. Soal kebenarannya, Wallahu alam bishawab.
Dan bagaimana dengan Pulau Paku?
Pulau Paku sebenarnya hanyalah semacam tanah busut (beting) di tengah laut antara Teluk Keriting dan Penyengat. Entah kenapa dan bagaimana ceritanya hingga tanah busut atau beting tersebut hingga disebut pulau. Yang jelas kalau air pasang dalam Pulau Paku itu tenggelam dan tidak kelihatan, tetapi kalau air surut akan kelihatan. Dan konon, dahulunya di Pulau Paku itu tumbuh sejenis pohon. Kononnya pula Pulau Paku ini sebagai lambang kemakmuran.

Demikianlah halnya tentang Pulau Penyengat, Pulau Los dan Pulau Paku. Lalu, bagaimanakah kisah si Jangoi sesuai dengan judul cerita kali ini? Jangoi, menurut pengertian dalam bahasa Melayu adalah nakal. Atau anak yang nakal. Atau barangkali nama Jangoi hanya diberikan sebagai nama tokoh dalam cerita ini, itupun tak begitu pasti.

Syahdan alkisah, menurut yang empunya cerita kehidupan masyarakat di Pulau Penyengat sangatlah harmonis dan bahagia. Masyarakatnya ramah tamah, bersopan santun, dan saling kasih mengasihi antara satu sama lainnya. Kebahagiaan kehidupan mereka agak terganggu ketika munculnya seorang anak yang bernama jangoi.

Jangoi adalah julukan untuk anak yang nakal, yang suka mengusik orang. Apalagi mengusik anak dara, tak perduli pagi, siang, petang ataupun malam. Di saat orang menjaring, Jangoi pun suka merusak jaring orang. Alkisah, adaaaa….. saja yang dikerjakan atau diganggunya.

Pernah juga orang-orang kampong merasa geram dan marah kepada Jangoi, hingga suatu ketika Jangoi ditangkap dan diikat di sebuah pohon. Tetapi entah bagaimana, e’eh ….. tahu-tahu si Jangoi lepas dari ikatan dan menghilang. Orang kampong pun jadi heran. Padahal ikatan di pohon itu begitu kuat, tapi ternyata si Jangoi dapat melepaskan diri.

Untuk beberapa hari, sejak Jangoi di tangkap dan menghilang, keadaan kampong agak tenang. Tak pernah terdengar lagi soal si Jangoi yang suka mengganggu orang. Tapi ketentraman itu tidak lama. Rupanya entah dari mana, tahu-tahu si Jangoi muncul lagi. Kali ini kelakuannya lebih jahat. Tidak hanya suka mengganggu ataupun mengusik, tapi sengaja mengejar-ngejar anak-anak perempuan ataupun anak dara yang mau pergi atau pulang mengaji. Sehingga sebagian anak-anak dara ataupun anak-anak takut pergi untuk mengaji.

Malahan suatu ketika, pada suatu malam Jangoi bersembunyi pada sebuah pohon yang rimbun, ia memakai pakaian putih, layaknya mayat yang baru keluar dari lobang kubur. Entah mukena siapa yang dicurinya.

Begitu orang-orang pulang dari surau dan melewati pokok rimbun itu, Jangoi pun keluar dengan melompat-lompat layaknya sebagai lembaga atau hantu. Maka berhamburan berlari-lari sambil berteriak-teriak ketakutan orang-orang itu, khususnya orang perempuan dan anak-anak. Penduduk setempat sangat marah! Maka dicarilah akal untuk menangkap si Jangoi. Orang-orang kampong sengaja mengintai dan mencari kelengahan Jangoi.

Alhasil, pada suatu ketika, dapatlah si Jangoi ditangkap oleh orang kampong. Beramai-ramai orang kampong itu mengarak si Jangoi. Kedua tangannya diikat ke belakang. Sesampainya di sebuah pohon yang besar, si Jangoi diikat. Sekali ini, si Jangoi tidak ditinggal begitu saja. Melainkan dijaga oleh orang dewasa. Jaganya bergantian. Pokoknya, istilah kata orang, tak boleh leke.

“Huh! Baru kau rasa sekarang, ya? Kau tak akan dapat lepas lagi, Jangoi. Kami jaga engkau berganti-ganti,” kata orang yang menjaganya.
Apa jawab si Jangoi?
“Kalau ada orang menjaga enak juga. Engakau orang jadi pengawal aku, si Jangoi!” Ejek Jangoi.
“kurang ajar! Dasar anak bertuah!” kata si penjaganya dengan marah.
“Aku diikat, engkau orang menjaga. Engkau orang juga yang penat!” Ejek Jangoi lagi. Naik pitam juga orang yang menjaganya melihat perangai si Jangoi.
“Hei, dengar! Budak macam kau ‘ni tak perlu dilayan!” Kata si Penjaganya dengan geram.
“Tak, layan sudah! Akupun tak rugi!” Jawab si Jangoi sambil ketawa-ketawa.
“Iiih …. Kalau bukan masih budak lagi, sudah aku lumat-lumatkan, engkau ‘ni!” Begitu geramnya di Penjaga itu melihat perangai Jangoi. Adaaaa …. Saja jawabnya. Maka si Penjaga itupun tak hendak melayan si Jangoi lagi.

Memang sungguh luar biasa, istilah kata orang, tak boleh leke. Padahal orang yang menjaganya betul-betul dan dijaga secara berganti-ganti. Tapi dalam sekelip mata, si Jangoi boleh hilang dari pokok tempat ia diikat. Para penjaga kalang-kabut mencari-cari, sampai kemerata tempat. Tapi si Jangoi hilang macam di telan bumi.

Akhirnya, orang-orang kampong jadi putus asa. Mereka tak tahu lagi bagaimana untuk mencari dan menangkap si Jangoi. Orang-orang kampong sangat khawatir kalau-kalau si Jangoi muncul lagi dan buat perangai yang lebih teruk. Dan betul saja, tak sampai sepekan si Jangoi pun muncul. Sekali ini bukan anak dara, anak-anak ataupun orang perempuan, melainkan orang-orang tua pun diusik dan ditakuti-takuti. Layaknya jadi macam orang minyak!.

Suasana kampong betul-betul kelam-kabut dibuat ulah si Jangoi!. Maka akhirnya orang kampong berkumpul dengan dipimpin oleh Orang Tua di kampong itu. Mereka bermusyawarah untuk mencari jalan keluar yang terbaik.

“wahai orang-orang kampong, nampaknya perangai si Jangoi, tak boleh kita diamkan begitu saja. Si Jangoi telah membuat kerusuhan di kampong kita ini!” kata Orang Tua itu.

“Kalau dapat sekali ini, kita rejam saja, Tok!” ujar salah seorang penduduk.
“Tapi si Jangoi itu masih budak-budak lagi, takkanlah hendak direjam pula!” kata penduduk yang lain.
“Memang masih budak-budak, tapi kelakuannya sudah melampau batas! Sudah membuat kampong kita ini kacau balau!” Kata salah seorang penduduk yang lainnya pula.
“Yang penting kita dapat menangkap dahulu budak yang bernama Jangoi itu. Bagaimana dan apa yang patutu kita buat, biarlah nanti kalau si Jangoi sudah tertangkap. Kita jangan biarkan lagi si Jangoi itu buat kerusuhan di kampong kita ini. Itu yang penting!” akhirnya Orang Tua yang memimpin musyawarah itu berkata.

Banyak orang kampong yang memburu dan hendak menangkap si Jangoi. Pada hari petang menjelang maghrib, si Jangoi mulai dengan perangainya mengusik orang yang akan pergi sembahyang.

Maka serentak orang-orang kampong yang sudah bersiap sedia, langsung mengejar Jangoi.
Maka terjadilah kejar-mengejar, walaupun ramai orang yang memburunya, tak mudah untuk menangkap Jangoi. Jangoi pandai menggelecek, lari sana, sembunyi di sini. Badannya pun macam belut, licin. Payah di tangkap. Tetapi dengan usaha yang gigih dari orang-orang kampong, akhirnya Jangoi dapat tertangkap.

Begitu jangoi dapat tertangkap, langsung diikat serta diapit oleh beberapa orang dewasa sehingga tak dapat lari. Langsung dibawa kehadapan Orang Tua.
“Hei Jangoi …. Aku hendak bertanya kepadamu. Jawablah dengan jujur …. Apa sebenarnya maksudmu suka mengganggu orang-orang kampong, hingga kelakuanmu seperti orang minyak!” Tanya Orang Tua. Tapi si Jangoi tidak menjawab, ia hanya tertawa-tawa saja.
“Baiklah, kalau kamu tidak mau menjawab. Tapi beritahukan kepadaku, ilmu apa yang kamu pakai sehingga dapat melepaskan ikatan dan menghilangkan diri …” Tanya lagi si Orang Tua dengan sabar.

Ternyata si Jangoi masih belum ingin menjawab, ia masih diam dan hanya tersenyum-senyum. Orang Tua itu pun hampir habis kesabarannya, tapi masih juga ditahannya. Lalu Orang Tua itu berkata lagi,
“sekarang jelaskan apa syaratnya supaya kamu tidak boleh melepaskan diri dan menghilang lagi!”
“Benarkah orang-orang kampong ingin menyingkirkan aku dari kampong ini?” Tiba-tiba si Jangoi bicara.
“Kamu budak yang sangat nakal, yang hilang sama sekali dari kampong ini!” ujar seorang penduduk dengan geram.
“Kalau kau tak mau member tahu syaratnya, tubuhmu akan kami bakar hidup-hidup!” kata orang yang lainnya pula.
Mendengar tubuhnya mau dibakar, si Jangoi ketakutan. “Jangan, jangan dibakar. Aku tidak akan mati, tapi akan sangat menderita …”
Ujar si Jangoi ketakutan.
“Kalau begitu katakanlah syaratnya!” Ujar Orang Tua di kampong itu.
“Baiklah! Jika orang-orang kampong sangat benci padaku, dan ingin melenyapkan aku, mudah saja. Syaratnya, pisahkan tubuhku menjadi tiga bahagian. Kepala, badan dan kaki.” Jelas Jangoi menerangkan.

Mendengar penjelasan dari si Jangoi, orang-orang kampong sangat terkejut. Terumanya si Orang Tua. Sungguhnya itu hanya ingin menakuti-nakuti. Tak akan tergamak atau sampai hati mereka untuk membakar si Jangoi hidup-hidup, apalagi harus memenggal tubuh si Jangoi menjadi tiga bahagian, kepala,badan serta kaki.

Melihat orang-orang kampong sangat terkejut dan sepertinya tak sampai hati untuk memenggal dirinya menjadi tiga bahagian, si Jangoi pun berkata, “Kenapa orang-orang menjadi ketakutan dan tak sampai hati untuk memenggal aku? Kalau tubuhku tidak dipisahkan, aku tidak akan mati dan aku akan terus mengacau!” Ujar si Jangoi.

Kata-katanya, betul-betul membuat orang kampong serba salah. Kalau tidak melakukan seperti apa kata si Jangoi. Kampong tidak akan aman. Tapi kalau melakukan syarat yang dikatakan oleh Jangoi, mereka juga tak sampai hati. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya si Jangoi di bunuh. Namun orang kampong tidak mengikut arahannya dari Jangoi untuk memisahkan ketiga bahagian tubuhnya.

Akhirnya, tak sampai seminggu si Jangoi bangkit dari kuburnya, dan hidup kembali, serta mengacau orang kampong lebih dahsyat. Si Jangoi betul-betul jadi macam orang minyak.

Terpaksalah orang kampong mencari orang yang berilmu, orang pandai, untuk menangkap Jangoi. Setelah berusaha dengan keras, akhirnya si Jangoi dapat tertangkap.

“Wahai orang kampong sekaliannya, kita memang harus melakukan seperti arahan yang diberikan oleh si jangoi ini. Sebab itulah petuahnya, jika kita tidak melakukannya. Si Jangoi akan terus dengan perangkainya. Bahkan semakin hari, semakin jahat. Memang kita tak sampai hati, sebab si jangoi masih budak lagi. Demi kepentingan orang banyak, terpaksalah kita harus mengorbankan si Jangoi!” Demikian kata orang pandai itu dengan panjang lebar.

Akhirnya dengan perasaan serba salah, orang-orang kampongpun melakukan seperti apa yang dikatakan oleh Jangoi. Konon, kepala Jangoi di tanam di Pulau Los, badannya di tanam di Pulau Penyengat, sedangkan kakinya di tanam di Pulau Paku. Memang sungguh ajaib!
Sejak kejadian itu si Jangoi memang tak pernah muncul lagi. Kampong itupun kembali tentram seperti semula.

Oleh sebab itu, kalau ada anak nakal, selalu disebut orang,
“Huh! Kelaku macam si Jangoi!”

SEKIAN DAN TERIMA KASIH....

0 Komentar untuk "[Cerita Rakyat Melayu] SI JANGOI"

Back To Top